Oleh: Hasan Munawar
VisualJambi, Bogor. – Tumpang-tindih kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) dan Direksi TVRI kerap menyebabkan saling tuduh ikut campur dan konflik antara keduanya. Seperti pada kasus pemecatan Farhat Syukri dan Helmy Yahya pada 2013 pada satu sisi, di sisi lain, pemilihan anggota Dewas sendiri dilakukan oleh DPR RI yang sering kali menyebabkan pertimbangan politis lebih dipentingkan dibanding kualitas.
Ada beberapa catatan penting permasalahan yang menggerogoti lembaga penyiaran milik negara ini. Kasus korupsi menjadi momok yang menakutkan sekaligus menggoda bagi para pucuk pimpinan TVRI.
Korupsi-kasus korupsi
Pada masa direksi pimpinan Sumita Tobing yang dimulai tahun 2001, permasalahan keuangan mulai bermunculan. Salah satunya pada saat pembangunan stasiun pemancar di Gunung Tela yang dinilai bermasalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan turut menyumbang permasalahan pada kondisi keuangan TVRI saat itu.
Pemancar yang merupakan menara kembar ini merupakan antenna TVRI yang dibangun pada tahun 2002 untuk wilayah Jawa Barat. Gunung Tela (pemancar TVRI) untuk jangkauan Jabodetabek, Cikarang, Cibinong, Serang,Ciruas,Cilegon, Karawang, Cikampek, Purwakarta, sebagian Cianjur, dan Subang. Menara ini bahkan bisa menjangkau wilayah Lampung dan Sumatera.
Dua tiang besi yang menjulang tinggi kurang lebih 700 mdpl yang berada di wilayah bagian barat Kabupaten Bogor, tepatnya di Gunung Tela Desa Banyuwangi Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Belakangan pada 2014, Sumita Tobing dinyatakan melakukan korupsi pengadaan peralatan siar TVRI itu dan dinyatakan telah merugikan negara sebesar Rp 12,4 miliar. Ia pun dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta.
Sebelumnya, pada tahun 2013, Direktur Keuangan TVRI Eddy Machmudi Effendi diberi hukuman penjara 8 tahun 6 bulan atas kasus pengadaan program siap siar tahun 2012 yang bernilai Rp 47,8 miliar. Kasus ini melibatkan Direktur Berita dan Program Irwan Hendarmin,
Direktur Utama PT Media Arts Image Iwan Chermawan, pejabat pembuat komitmen yang merupakan pejabat tinggi TVRI Yulkasmir, dan komedian senior yang juga direktur Viandra Productions Mandra, yang menyebabkan kasus ini juga dikenal sebagai “Mandragate”.
Maraknya budaya korupsi ini, salah satunya ditengarai oleh minimnya akuntabilitas menejemen TVRI ke publik. Walhasil TVRI tertinggal dan bahkan ditinggalkan masyarakat pemirsa tayangan gambar hidup dari tabung kaca ini.
Tayangan politik
TVRI masa Orde Baru kerap dikritik karena menonjolkan Golongan Karya (Golkar) daripada dua partai politik lain dalam pemberitaan seputar pemilihan umum. Merujuk penelitian mengenai Pemilu 1992, dilaporkan bahwa 4 menit 25 detik berita TVRI ditujukan untuk Golkar, Partai Demokrasi Indonesia 56 detik, dan Partai Persatuan Pembangunan 41 detik. Golkar banyak mendapatkan pemberitaan yang positif, sedangkan PDI dan PPP lebih condong pada isu-isu negatif.
Karyawan TVRI pun dipaksa mendukung Golkar dalam pemilu dengan adanya asas monoloyalitas pasca status mereka diubah menjadi PNS di tahun 1980.
Dalam pemanggilan yang diadakan pada 10 Juni 2013 itu, TVRI menyatakan permohonan maafnya kepada masyarakat dan berjanji tidak akan menyiarkan acara sejenis kembali.
Kemudian pada 15 September di tahun yang sama, TVRI menayangkan siaran tunda konvensi Partai Demokrat, partai politik yang didirikan oleh presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, selama lebih dari 2 jam. Tayangan itu kembali mendapatkan sanksi KPI, karena melanggar prinsip independen sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran.
Sekretaris manajer direksi TVRI Usi Karundeng sempat mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah diintervensi atau dibayar oleh Partai Demokrat.
Meskipun demikian, laporan dari Tempo.co justru menyatakan bahwa Direktur Utama TVRI saat itu, Farhat Syukri-lah yang memaksakan acara itu agar disiarkan walaupun mendapat penolakan dari internal TVRI.
Pada tahun tersebut (Maret, Mei dan Agustus 2013), TVRI juga sempat menyiarkan acara ulang tahun Fraksi Partai Golkar, Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, ulang tahun SOKSI (organisasi sayap Golkar) dan ulang tahun Partai Amanat Nasional yang semuanya ikut mendapat kritik banyak pihak.
Diduga, TVRI saat itu tengah menjual jam siarnya dalam bentuk blocking time untuk kepentingan politis segelintir pihak tertentu.
Pemecatan Helmy Yahya, kisruh internal
Kejadian ini sebenarnya sudah ada pada tanggal 4 Desember 2019, di mana Direktur Utama TVRI saat itu Helmy Yahya dinonaktifkan sementara oleh Dewan Pengawas TVRI pimpinan Arief Hidayat Thamrin dan digantikan dengan Pelaksana Tugas (Plt)/Direktur Sementara, Supriyono.
Menurut sumber berita di hampir seluruh media massa pada tanggal 16 Januari 2020, Helmy resmi diberhentikan jabatannya oleh Dewan Pengawas secara permanen dan sepihak karena beberapa hal; seperti pembelian hak siar Liga Inggris yang dinilai terlalu mahal, penayangan blok acara Discovery Channel, dan kecenderungan mengutamakan popularitas acara melalui rating. Hal itu membuat sebagian besar publik (termasuk warganet) kecewa dan ingin membela Helmy Yahya agar tetap memimpin TVRI hingga 2022, tetapi Dewan Pengawas tetap menolak pembelaan atas Helmy hingga terpilihnya direktur utama baru yang menggantikannya.
Per tanggal 27 Maret 2020, tiga direktur TVRI (termasuk Direktur Program sekaligus Pemimpin Redaksi, Apni Jaya Putra) diberhentikan sementara selama kurang dari sebulan oleh Dewan Pengawas TVRI terkait kasus Helmy Yahya. Sayangnya, setelah pemberhentian ketiga direktur dicabut konflik tersebut masih belum selesai.
Pada 13 Mei, Apni diberhentikan secara permanen.
Pada tanggal 27 Mei 2020, Dewan Pengawas TVRI telah menunjuk praktisi periklanan, wartawan, dan sineas/sutradara film Iman
Brotoseno sebagai Direktur Utama baru TVRI sisa periode 2017-2022. setelah dilakukan seleksi terbuka. Penunjukkan tersebut menimbulkan kontroversi karena proses seleksi yang melanggar peraturan yang berlaku.
Selain itu, dukungan Iman pada presiden petahana Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019 juga disorot, walau ia menyatakan bahwa dirinya “akan independen dan imparsial.
Tak lama berselang Iman Brotoseno dihujat oleh sebagian besar publik (termasuk warganet) karena kutipan yang disampaikan di media sosialnya tidak pantas. Namun Iman membantah, bahwa ucapan tersebut adalah “kenangan pahit yang pernah dideritanya”.
Kontroversi tersebut dianggap telah berakhir setelah Dewan Perwakilan Rakyat memecat Ketua Dewan Pengawas Arief Hidayat Thamrin pada Oktober 2020.
Begitulah kondisi TVRI dari masa ke masa yang rentan dengan korupsi dan konflik kepentingan oleh karena keberadaannya sebagai sebuah lembaga penyiaran milik negara yang memiliki keterbatasan yang diatur dalam peraturan dan undang undang di satu sisi, dan pada sisi lain merupakan sebuah komponen strategis bagi transformasi kemajuan masyarakat melalui informasi.
Discussion about this post